MAQAMATTASAWUF. Setiap pengembaraan dalam pencarian tuhan para suluk harus melewati Maqam-maqam tertentu, dan setiap Maqam tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang tak terhingga banyaknya, dalam setiap maqam, kadang-kadang salik terintang oleh hijab (tabir)yang besar. Dia harus melewatinya atau dia berhenti pada maqamnya.
Sayyidina Ali Karromallahu wajhah menerangkan bahwa sejatinya taqwa tidaklah sekedar istitsalul awamir waj tinabun nawahi, tetapi taqwa itu adalah الØÙˆÙ من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari perlihan hari akhir. إنَ٠الْحَمْدَ لِلَÙهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¦ÙŽØ§ØªÙ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَ٠لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَ٠اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ Ø£ÙŽÙ†ÙŽÙ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù‹Ø§ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَÙهُمَ٠صَلِ٠وَسَلِÙمْ عَلَى نَبِيِÙنَا Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù أُوْصِيْكُمْ ÙˆÙŽØ¥ÙÙŠÙŽÙØ§ÙŠÙŽ Ø¨ÙØªÙŽÙ‚Ù’ÙˆÙŽÙ‰ اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَÙقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى يَا أَيُÙهاَ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ ءَامَنُوا اتَÙقُوا اللهَ حَقَ٠تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَ٠إِلاَ٠وَأَنتُمْ Ù…ÙÙØ³Ù’لِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù اتَÙقُوْا رَبَÙكُمُ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’ ØÙŽÙ„َقَكُمْ مِÙنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ÙˆÙŽØÙŽÙ„ÙŽÙ‚ÙŽ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَØÙŽÙ مِنْهُمَا رِجَالاً ÙƒÙŽØÙÙŠÙ’رًا وَنِسَآءً وَاتَÙقُوا اللهَ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَ٠اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ ءَامَنُوا اتَÙقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُØÙØ¹Ù اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Marilah bersama-sama kita saling menasehati akan pentingnya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. sesungguhnya ketaqwaan merupakan kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah Seringkali kita mendengar istilah taqwa’ begitu seringnya sehingga tidak terpikir oleh kita apakah sejatinya makna taqwa. Seolah-olah ketika telinga kita menangkap kata taqwa’ maka sudah menjadi mafhum bahwa yang dimaksudkan adalah menjalankan berbagai amal shaleh. Padahal tidak selamanya demikian. Memang, sebagain ulama mempermudah pemahaman taqwa dengan menjelaskan bahwa taqwa adalah ’imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi’ mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. kalimat sederhana yang terkesan sangat global. Sehingga mudah diingat namun susah dicerna dan dijabarkan, mungkin karena terlalu singkat. Oleh karenanya dalam kesempatan ini khatib ingin sekali menerangkan makna taqwa sebagaimana diterangkan oleh Sayyidina Ali Karromallahu wajhah yang dikutip dalam kitab al-Manhajus Sawi, oleh al-allamah al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Sayyidina Ali membeberkan kepada kita makna taqwa yang terbentang dalam empat hal yaitu; الØÙˆÙ من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل Bahwa taqwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan hari akhir. Jama’ah jum’ah yang berbahagia Pertama; Al-khaufu minal Jalil artinya bahwa taqwa itu akan menjadikan seseorang merasa takut kepada Allah swt yang memiliki sifat Jalal. Takut melanggar berbagai aturan dan ketentuan-Nya. Sehingga apapun yang akan diperbuatnya selalu dipertimbangkan terlebih dahulu. Tangan tidak akan digunakan untuk memungut benda yang bukan miliknya tanpa izin. Kaki tidak digunakan untuk berjalan ke aarah yang salah, demikian juga mata dan telinga tidak akan difungsikan sebagai alat mendurhakai-Nya. Maka taqwa dalam bingkai Al-khaufu minal Jalil, lebih bernuansa penghindaran dan pencegahan’ dari pada pelaksanaan’. Karena sesungguhnya ketakutan’ itu akan menyebabkan seseorang enggan melakukan tindak kesalahan. Seperti halnya seorang anak kecil yang takut bermain air hujan karena takut kepada orang tuanya. Kedua; wal amalu bit tanzil, menghindari sesuatu karena takut kesalahan dalam konsep taqwa tidak lantas menjadikan seseorang tidak berbuat apa-apa, karena hal taqwa juga menuntut tindakan baik yang berdasar pada al-Qur’an yang diturunkan at-tanzil sebagai pedoman hidup dan dasar bersyariat bagi kaum muslim. Maka segala amal orang yang bertaqwa berdasar pada al-Qur’an, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu secara serampangan tanpa adanya dalil yang mendasarinya baik al-Qur’an, Hadits, Ijam’ maupun qiyas. Jama’ah jum’ah yang Dimuliakan Allah Ketiga; al-Qana’atu bil Qalil, artinya orang yang bertaqwa akan selalu merasa cukup dengan rizki yang sedikit, sesungguhnya orang yang memiliki rizqi yang sedikit dan merasa cukup dengan rizqi tesebut adalah bukti sekaligus tanda bahwa orang itu dicintai oleh Allah swt. Sebagaimana yang disabdakan rasulullah saw. إن الله إذا أحب عبدا رزقه كفافا Bahwa jika Allah mencintai seorang hamba ia akan memberikan rizki yang pas-pasan kepadanya. Artinya pas-pasan adalah tidak memiliki kelebihan selain untuk menutupi kebutuhan pokoknya, inilah tanda orang taqwa yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu dalam kenyataannya tidak seorangpun hamba yang hidup pas-pasan bertindak secara berlebihan, berhura-hura dan doyan belanja. Karena berbagai macam keglamouran hidup itu sangat dibenci oleh Allah swt. menyebabkan manusia melupakan Tuhannya. Itulah bukti hamba itu dicintai oleh Allah. Berbeda sekali dengan seorang yang memiliki limpahan harta yang berlebih. Maka di kala waktu luang setan akan segera menghampirinya dan membujuk untuk berbuat hura-hura, jalan-jalan berekreasi ke tepi pantai atau santai santai di menikmati keremangan malam atau malah mencari kesibukan diluar pengetahuan pasangannya. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang sepertin ini. Maka menjadi amat penting memeperhatikan sabda Rasulullah saw selanjutnya yang berbunyi ØÙˆØ¨Ù‰ لمن هدي الإسلام وكان رزقه كفافا ورضي به Beruntung sekali orang yang mendapatkan petunjukIslam, yang mempunyai rizqi pas-pasan dan rela dengan rizqi yang pas-pasan itu. Ridhda atau rela dengan kesedikitan itu menjadi satu sarat tersendiri. Sebagai pertandanya orang tersebut tidak pernah berkeluh-kesah akan keadaanya. Banyak sekali hamba yang merasa cukup dengan rizqi yang diterimanya, saying sekali ia sering keluhan-keluhan. Sesungguhnya hal yang demikian itu mengurangi ketaqwaan. Dan keempat, al-isti’dadu li yaumir rakhil, adalah bersiap-siap menghadapi hari perpindahan. Perpindahan dari alam dunia ke alam kubur lalu ea lam akhirat. Artinya segala amal orang yang bertaqwa senantiasa dalam ranga menyiapkan diri akan hadirnya hari kematian. yaitu hari keberangkatan dari alam dunia menuju alam akhirat. Oleh karena itu ketika Rasulullah ditanya “siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia di hadapan Allah?” beliau menjawab mereka adalah manusia yang Ø£ÙƒØØ±Ù‡Ù… ذكرا للموت وأشدهم إستعدادا له Manusia yang paling banyak mengingat kematian dan paling semangat mempersiapka diri menghadapinya. Ini juga merupakan tuntunan praktis bagi umat muslim meningkatkan ketaqwaannya, yaitu selalu mengingat kematian Karena, seorang yang mengingat kematian ia tidak akan mudah terjerumus dalam kubangan dosa. Demikianlah khotbah jum’ah kali ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي ÙˆÙŽØ¥ÙŠÙŽÙØ§ÙƒÙÙ…Ù’ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَÙÙ„ÙŽ مِنِÙÙŠ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَÙهُ هُوَ السَÙمِيْعُ اْلعَلِيْمُ Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُÙكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَ٠اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ Ø§ÙŽÙ†ÙŽÙ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙŽÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù‹Ø§ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ Ø§Ù„Ø¯ÙŽÙØ§Ø¹ÙÙ‰ اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَ٠صَلِ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِÙمْ تَسْلِيْمًا كِØÙŠÙ’Ø±Ù‹Ø§Ø§ÙŽÙ…ÙŽÙØ§ بَعْدُ فَياَ اَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù اِتَÙقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا Ø¹ÙŽÙ…ÙŽÙØ§ نَهَىوَاعْلَمُوْا اَنَ٠الله٠اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ ÙˆÙŽØÙŽÙ€Ù†ÙŽÙ‰ بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَ٠اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُÙوْنَ عَلىَ Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ¨ÙÙ‰ يآ اَيُÙهَا Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ آمَنُوْا صَلُÙوْا عَلَيْهِ وَسَلِÙمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَ٠صَلِ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù صَلَÙÙ‰ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِÙمْ وَعَلَى آلِ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†Ø§ÙŽ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙ‚ÙŽØ±ÙŽÙØ¨ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ وَارْضَ اللÙهُمَ٠عَنِ اْلØÙÙ„َفَاءِ Ø§Ù„Ø±ÙŽÙØ§Ø´ÙØ¯ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُØÙ’مَان وَعَلِى وَعَنْ Ø¨ÙŽÙ‚ÙÙŠÙŽÙØ©Ù Ø§Ù„ØµÙŽÙØ­ÙŽØ§Ø¨ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„ØªÙŽÙØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ وَتَابِعِي Ø§Ù„ØªÙŽÙØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِÙيْنِ وَارْضَ Ø¹ÙŽÙ†ÙŽÙØ§ مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ Ø§Ù„Ø±ÙŽÙØ§Ø­ÙÙ…ِيْنَاَللهُمَ٠اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَ٠اَعِزَ٠اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°ÙÙ„ÙŽÙ Ø§Ù„Ø´ÙÙØ±Ù’ÙƒÙŽ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙˆÙŽØ­ÙÙØ¯ÙÙŠÙŽÙةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِÙيْنَ وَاØÙ’ذُلْ مَنْ ØÙŽØ°ÙŽÙ„ÙŽ اْلمُسْلِمِيْنَ ÙˆÙŽ Ø¯ÙŽÙ…ÙÙØ±Ù’ اَعْدَاءَالدِÙيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِÙيْنِ. اللهُمَ٠ادْفَعْ Ø¹ÙŽÙ†ÙŽÙØ§ اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَÙلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَØÙŽÙ†ÙŽ Ø¹ÙŽÙ†Ù’ بَلَدِنَا Ø§ÙÙ†Ù’Ø¯ÙÙˆÙ†ÙÙŠÙ’Ø³ÙÙŠÙŽÙØ§ ØØ¢ØµÙŽÙةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ Ø¹Ø¢Ù…ÙŽÙØ©Ù‹ يَا رَبَ٠اْلعَالَمِيْنَ. رَبَÙنَا آتِناَ فِى الدُÙنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآØÙØ±ÙŽØ©Ù حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø±Ù. رَبَÙنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَ٠مِنَ اْلØÙŽØ§Ø³ÙØ±ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ. عِبَادَاللهِ ! اِنَ٠اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَÙكُمْ ØªÙŽØ°ÙŽÙƒÙŽÙØ±ÙÙˆÙ’Ù†ÙŽ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ Redaktur Ulil Hadrawy
faqr tawadhu’, taqwa, tawakkal, ridha, mahabbah dan ma’rifah.7 Kendatipin jumlah maqâm masing-masing sufi berbeda, tetapi pada maqâm pertama mere- SUDAH SAATNYA MENYADARI HAKIKAT AJARAN SUFI Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MAPENDAHULUAN Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali kekasih Allah Azza wa membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur`ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh al-Barbahâri rahimahullah mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu anhum, maka berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga akibatnya engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf AJARAN TASHAWWUF Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat Radhiyallahu anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in. Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]Ajaran ini, pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota Islam lainnya.[3]Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar hlm. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al- Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan kezuhudan model agama Budha”.[4]Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk DASAR AJARAN TASHAWWUF YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR`ÂN DAN AS-SUNNAH[5] Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatannya berdasarkan simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat disimpulkan sebagai berikutMereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah kecintaan saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf rasa takut dan ar-raja` pengharapan, sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. !? Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja`, adz-dzull penghinaan diri, al-khudhû` ketundukkan, do’a, dan aspek-aspek seorang ulama Salaf berkata “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq kafir. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Haruuriyyah Khawarij. Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwah–hid orang yang bertauhid dengan benar”.Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para nabi dan rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur`ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat yang tidak jelas kebenarannya, mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla , mereka berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang nabi/rasul yang terjaga dari kesalahan. Maka demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf, mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka”.Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu membacanya. Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur`ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”. Kalimat thayyibah lâ ilaha illallah, menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal ا للة dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata Huwa/Dia, mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallah adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal ا للة, serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti Huwa/Dia, maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.Sikap ghuluw berlebih-lebihan/ekstrim orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur`ân. Wali kekasih Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allah Azza wa Jalla. Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali kekasih Allah Azza wa Jalla . Kedudukan sebagai wali Allah Azza wa Jalla juga tidak menjadikan diri seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla , melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya. Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib tidak nampak, dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah Azza wa Jalla .Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah.[7]Kemudian, ternyata kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla .Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri ? kepada Allah Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla ?!. Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash-Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan “Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat bohong yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka. Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian isi kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus dengan datangnya agama Islam dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik keadaannya dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama. Mereka, sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla . Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim Shallallahu alaihi wa sallam .Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut iniوَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُBeribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini kematian. [al-Hijr/15 99].Kata mereka “Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabbmu sampai kamu mencapai tingkatan ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah kewajiban melaksanakan ibadah atas dirimu …”.Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka. Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,” kemudian Hasan al-Bashri rahimahullah membaca ayat di ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla , tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh jika muncul pertanyaan “Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah Azza wa Jalla .Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah as-Sunnah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. [Ali Imrân/3164].Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`aan dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allah Azza wa Jalla ialah kekotoran jiwanya.[9]Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan permisalan bahwa petunjuk dan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam , ibarat air hujan yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit. Sebagaimana fungsi air hujan ialah menghidupkan, membersihkan, dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang. Maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , adalah untuk menghidupkan, mensucikan dan menumbuhkan hati Ta’ala a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri hlm. 61, Tahqiq Syaikh Khâlid ar-Raddâdi. [2] Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14. [3] Majmu’ al-Fatâwa, 11/6. [4] Ibid., hlm. 14. [5] Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan. [6] Lihat, misalnya firman Allah l dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya. [7] Majmu’ al-Fatâwa, 11/215. [8] Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ` fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini. [9] Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, Igatsatul-Lahafan dan al-Fawa’id. Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Sudah Saatnya Menyadari Hakikat...
Taqwa(Bagian 2) 6 tahun yang lalu. buletin mitsal. Bahkan makin kuat ketakwaan seseorang, makin kukuh pula fungsi furqan itu dalam jiwanya. Penyair-sufi Iran, Sa’di mengisyaratkan korelasi tersebut dalam syairnya yang berbunyi; Hakikat kebahagiaan adalah keteraturan,

JAKARTA- Kitab Ar-Risalah merupakan salah satu magnum opus Syekh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin bin Muhammad al-Qusyairi an-Naisaburi. Kitab yang ditulis sufi dari abad ke-11 M, ini mencoba mendudukkan tasawuf pada relnya. Dalam kalam pembuka, Imam al-Qusyairi, begitu tersohor dikenal, menulis tentang kaum sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah para wali terpilih, mengutamakan mereka atas semua hamba-Nya setelah para rasul dan nabi- Nya. Allah SWT menjernihkan mereka dari segala kotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat musyahadat persaksian rohani pada kebesaran dan rahasia kegaiban Allah SWT. Ia meneruskan, “Ketahuilah, sesungguhnya ahli hakikat sebagian besar telah punah; tidak ada yang tersisa pada masa kita dari kelompok ini kecuali hanya bekas-bekasnya. Sungguh, kelemahan telah terjadi di kelompok ini, bahkan mereka terkikis dari peran kehidupan.” Al-Qusyairi juga mengkritik sikap yang memandang diri dan kelompok berdiri di atas kebenaran. Dengan sikap itu, lahirlah egoisme yang berupaya menyingkirkan siapa pun yang dianggap berseberangan pandangan. “Kebencian yang didasarkan perasaan iri menyebabkan mereka menyebut para pengikut thariqah dengan sebutan yang jelek,” tulisnya. Pada bagian itu, ia mengungkapkan motivasinya dalam menulis Ar-Risalah. Menurut sang imam, banyak pihak yang sesungguhnya belum mengetahui disiplin tasawuf, tetapi mereka dengan lantang mengecam kaum sufi. Sebab, orang-orang itu justru kurang memahami hakikat dan prinsip-prinsip tarekat. Terutama sekali, kalangan fuqaha yang rajin mencari-cari kesalahan pelaku tasawuf akibat dari pemahaman mereka yang tidak mendalam. Ar-Risalah menyatakan, tasawuf adalah aktivitas roh, asah rasa dan olah perilaku yang dilakukan karena dorongan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam surat al-A'la ayat 4-5 disebutkan قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia menegakkan sholat.” Al-Qusyairi menegaskan, para mursyid atau guru kaum sufi telah membangun kaidah-kaidah ajaran dengan berdasar pada prinsip tauhid. Mereka menjaganya dari bid'ah. Karena itu, pandangannya dekat dengan para ulama terdahulu salaf ash-shalih serta ahli sunah Rasul SAW. “Tidak didapati dalam ajaran mereka Red unsur-unsur penyerupaan pada al-Haqq panteisme dan peniadaan ateisme,” tulis sang cendekiawan. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini

Makadari itu, hakekat puasa dalam pandangan Rasyid Ridha adalah sebagaimana berikut ini: 1. Tarbiyat aliradat (pendidikan keinginan) Keinginan atau kemauan merupakan fitrah manusia. Tapi acapkali kemauan atau keinginan yang dimiliki manusia tidak selamanya baik dan tidak pula selamanya buruk. Karena itu puasa dapat mendidik atau membimbing KEKELIRUAN PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT ALA TARIKAT SUFIYAHSebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu syariat dan hakikat. Atau zhahir dan rahimahullah menjelaskan “Banyak kalangan Sufi yang membedakan agama menjadi hakikat dan syariat”[1]Yang dimaksudkan dengan syariat –menurut kaum Sufi- yaitu perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu zhahir atau ilmu syariah. Menurut kalangan Sufi, golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok awam. Yang termasuk dalam klasifikasi ini -menurut kaca mata mereka- yaitu para imam empat, seluruh ulama fiqih fuqaha, dan ulama pengertian al-haqiqah hakikat, yaitu bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil penafsiran ilmu syariat. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bâthin. Mereka inilah –menurut kalangan Sufi- yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khâsh, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan. Seperti al-awwaam’ orang-orang awam, ahlu zhahir, al mahjubun kaum yang terhalangi dari ilmu. Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan pada ulama Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata “Kesalahan seorang murid ada tiga menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah“.Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat, menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab “Saya dan al Khalil nama seorang ulama fiqih besar telah berpisah sampai hari Kiamat”[2]Hakikat “Ilmu Hakikat” Sufiyah Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu Ajîbah[3], bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna Ali.[4]Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga –menurut kaum Sufi- demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus kaum khawâsh, yang –konon- Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.[5]Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi` Adanya “Hakikat” dan “Syari’at” Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu, mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan kitmânul-ilmi menyembunyikan sebagian ilmu dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan Subhanahu wa Ta’ala berfirmanاِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2159].Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” [HR Abu Dawud].Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan? Padahal saat haji Wada`, beliau n telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur` lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu anhum, dan hanya menempatkan Sahabat Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat Ali Radhiyallahu khusus, kedustaan ini memuat dua semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu anhum yang Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang Hiyash Shûfiyah, Syaikh Abdur-Rahmân Juyûsyil-Islâmiyyah lil-Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq, Maktabah Rusyd, Cetakan III, Tahun 1419 H – 1999 M.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Naqdul-Ilmi wal-Ulama, hlm. 246-247. [2] Târîkh Baghdâd 2/331 [3] Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam [4] Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam 1/5. Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq [5] Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57 Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Kekeliruan Pembagian Hakikat dan...
1Dalil Al-Quran. Firman Allah,“Katakanlah,Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yan keji,baik yang kelihatan atau pun yang tersembunyi.” (Al-Araf:33) Firman Allah, “ Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji,baik yang kelihatan mahupun yang tersembunyi.” (Al-An’am: 151) Para pakar tafsir mengatakan bahawa perbuatan keji yang tersembunyi adalah
On retrouve dans le Coran un verset d’une importance majeure dans son évaluation de la valeur intrinsèque et de l’intégrité morale des êtres humains qu’ils soient hommes ou femmes. Il s’agit du verset suivant Coran 49 ;13 Ô vous les humains ! Nous vous avons créés d’un homme et d’une femme et Nous avons fait de vous des peuples et des tribus pour que vous vous entre –connaissiez. Le plus méritant d’entre vous auprès de Dieu, est le plus - pieux, fidèle, dévoué - atquakoum ».Notons, dès le départ, l’entrée en matière de ce verset où il est explicitement rappelé aux humains leur origine commune. Celle d’un homme et d’une femme. Et de cette même origine, s’est établi une humanité répartie en une multitude de peuples et de diversité de ces peuples fait souvent oublier l’origine commune et l’unité de la création. Cette diversité voulue par Dieu est sublimée dans ce verset où il est demandé à ces différents peuples justement de se connaître mutuellement afin de ne jamais oublier leur origine a créé tous ces peuples et ces nations avec leurs spécificités, leurs différences, leurs cultures, leurs modes de vie… A partir de l’unité de la création Dieu a justement créé la diversité comme une épreuve… Vivre la diversité, accepter l’Autre dans sa différence n’est-elle pas encore aujourd’hui vécue comme un défi à tous nos égocentrismes modernes ?L’incitation coranique faite à ces peuples de se connaître est une invitation à l’enrichissement mutuel à travers cette attitude humaine de l’ouverture sur l’Autre indépendamment de sa différence, de son ethnie ou de sa culture d’origine. La connaissance mutuelle dont parle le Coran consiste donc à enrichir l’expérience humaine, constamment, éternellement, par cet apport de l’Autre, en ce qu’il a de meilleur à offrir de sa spécificité à l’universel humain. Le plus méritant d’entre vous auprès de Dieu, est le plus dévoué atquakoum » …De cette diversité humaine, Dieu ne fait point de différence, entre tous ces êtres humains qu’Il a créé, nul ne peut prétendre à une considération particulière ou à une préférence quelconque de la part de Dieu…Il n’y a ni peuple élu, ni nation privilégiée… L’égalité de tous les êtres humains aux yeux du Créateur est absolue et elle transcende tous les particularisme, de race, d’ethnie, de couleur ou de sexe…Le seul mérite auprès de Dieu est celui que le Coran défini dans ce verset comme étant la Taqwa »…Mais que veut dire au juste la Taqwa » ? Étymologiquement , la Taqwa a un sens de prévention et de prophète l’a définie comme étant une qualité intériorisée dans le cœur. Dans un hadith connu il affirma en parlant de la Taqwa at- Taqwa est ici , at- Taqwa est ici » en faisant un signe de sa main vers son cœur[1].Omar Ibn al-Khattab, a demandé un jour à un compagnon, Oubay Ibn Kaab, de lui expliquer le sens de Taqwa ? Oubay a répondu Supposons que tu te retrouves un jour sur une route parsemée d’épines que ferais - tu ? ». Omar de répondre je retrousserais mes manches et je m’efforcerais d’éviter ces épines ! ouchamir wa ajtahid ». Ce à quoi Oubay a répondu Et bien la Taqwa c’est cela ! »[2] . Autrement dit, c’est l’effort fourni afin d’éviter les épines, autrement dit, les épreuves de la vie ».La Taqwa est souvent traduite par piété ». Dans la signification islamique traditionaliste la Taqwa a le plus souvent été enfermée dans le domaine stricte des Ibadates, autrement dit du culte, et de la morale individuelle. On l’identifie souvent d’ailleurs comme un comportement religieux caractéristique de ceux qui appartiennent à un mouvement mystique de retrait du monde. Toujours selon cette signification la Taqwa est synonyme de peur de Dieu, de crainte, voire comme certains l’ont appelée de crainte révérencielle ».Il est vrai que la Taqwa peut être assimilée à de la piété, à de la crainte, à la peur du Créateur, ceci étant un sentiment commun retrouvé dans le cœur des pratiquants et toutes les religions ont insisté sur ce lien entre la pratique du culte et la peur de la punition divine. Ce sont là des sentiments tout à fait humains et finalement spontanés, inhérents à la nature humaine ou Fitra, qui n’est autre que cette empreinte de la présence de Dieu, enfouie dans le plus profond de nos âmes la Taqwa ne peut être circonscrite à la piété et la peur…En fait, la Taqwa a deux dimensions essentielles, l’une intérieure, dans le cœur des croyants comme l’a bien défini le prophète, mais aussi une dimension extérieure, qui consiste justement a extérioriser cette qualité en des actes et en un comportement reflétant cette vertu du cœur. En d’autres termes et comme l’a bien décrit Oubay, quand il en décrivait le sens au Calife Omar, c’est avant tout l’effort personnel entrepris par chaque homme et chaque femme afin d’affronter les défis et les épreuves de la vie!La Taqwa doit d’abord être comprise et vécue comme étant une valeur spirituelle d’amour, de respect du Créateur mais qui doit être mise en pratique dans la vie de tous les jours. C’est l’ouverture constante de l’esprit vers le s’approcher par des actes de vertu à Dieu et être dans cette proximité intime et constante avec le Créateur de ces mondes. C’est avoir la conscience d’être avec Dieu toujours et partout à travers son cœur et ses ainsi que l’on constate comment le Coran insiste sur cette égalité de tous les êtres humains dont le seul critère de préférence pris en compte par Dieu est celui d’une Taqwa conçue dans son sens pluriel et ouvert. Et non pas, comme l’ont compris certains, dans un sens restrictif de dévouement passif, fataliste et vain. La Taqwa, certes, c'est être dévoué au Créateur et à ses injonctions mais c’est un dévouement qui sait rester actif, vivant, créatif, et qui ne peut se réaliser que dans l’intelligence de la foi et de la dans ces sens que la Taqwa, doit être comprise et vécue, comme une profonde exigence de liberté », puisque adhérer à la foi et à la transcendance c’est finalement délivrer sa raison » des futilités matérielles et des passions négatives et s’élever vers la liberté infinie. L’homme pieux se sent profondément libre !...Rousseau n’avait il pas affirmé à juste titre Rendez moi libre en me protégeant contre mes passions qui me font violence, empêchez moi d’être leur esclave et forcez moi d’être mon propre maitre en n’obéissant point à mes sens mais à ma raison ».[3]Les hommes et les femmes doivent rivaliser dans cette Taqwa afin d’avoir les mérites du Créateur. Elle n’est finalement que cette spiritualité qui devient par l’effort et le mérite, une force libératrice, qui délivre les croyants et croyantes des chaines du matérialisme à outrance et qui les élève très haut vers les cieux de la meilleur d’entre toutes les femmes et tous les hommes devant Dieu c’est donc celui et celle qui saura se libérer de ses passions, de son Nafss ou égo et qui fera le plus d’efforts pour se dévouer et pour accomplir le plus grand nombre de belles actions dans cette vie, pour les autres, tous les autres, quelles que soient leur origine, couleur ou race. C’est là, l’illustration des plus belles égalités entre hommes et femmes, égalité qui se fait dans la liberté, l’engagement du cœur et dans le dévouement de l’ LamrabetAvril 2013[1] Hadith transmit par le compagnon Abderrahmane Ibn Sakhr , ouvrage al mashikha al baghdadia » Abi tahar assalafy, vol 23.[2] Tafssir Ibn Kathir du verset 2 , sourate 2.[3] Islam et modernité », Abdellah Laroui, Centre culturel Arabe,3me édition, 2009, Casablanca, p 58. AliranHamzah Fansuri terkenal dengan teori Wahdatul Wujud di mana fahaman ini sangat ditentang oleh Nuruddin Ar-Raniri. Antara bentuk karangannya yang sangat terkenal adalah Syair Perahu, Syair Burung Pungai, Syair Dagang dan lain-lain (Hasan Shadily 1973: 321). Mengenai tarikh lahir Hamzah Fansuri ia masih diperdebatkan sehingga ke hari ini, Ooi Keat Gin (2004)
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Oleh Abidin Ghozali Al-GrabyaganiPenulis adalah Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah JakartaEtika Dalam Pemikiran Sufi“Etika” sebagaimana kita tahu bahwa istilah ini berasal dari kata Yunani kuno. Yang dalam bentuk tunggalnya kata Ethos memiliki banyak arti kebiasaan; adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak Ta Etha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terahir ini lah yang menjadi latar belakang terbentuknya kata “Etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles 384-322 menunjukan filsafat yang disebut juga filsafat moral, meneliti kaidah-kaidah yang membimbing manusia sehingga dalam jalan yang baik dan benar. Di dunia barat pemikiran tentang dunia ini berawal dari Sokrates, mazwab Stoa, dan Epikurus. Dalam filsafat India pemikiran etik berpangkal pada ajaran Karma dan Sufi seorang yang mengerti dan mengamalkan ilmu Tasawuf. Kaum sufi akrab dengan berbagai ritual keagamaan seperti wirid, do’a dan i’tikaf untuk melakukan ritual ini kaum sufi ada yang melakukannya dengan cara Uzlah Mengasingkan diri, Muraqabah Kontemplasi penuh dengan kewaspadaan, Muhasabah pemeriksaan atau ujian terhadap diri.Sejak dekade akhir abad ke II Hijriah, Sufi sudah populer dikalangan masyarakat dunia Muslim, Ibrahim Basyuni, dalam kitab “Nasy-at-Tasawuf fi-I Islam” mengungkapkan bahwa kaum sufi di identikkan dengan kaum Muhajirin yang bertempat di serambi masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Zaar al-Ghiffari. Mereka menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhud terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah. pola hidup mereka kemudian di contoh oleh sebagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebut kaum kemunculan kaum sufi sudah bisa dilacak apakah memiliki konsep hidup yang etis, membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Cara hidup kaum sufi dalam perkembangannya memang mendapakan banyak corak yang pada fase awal kemunculan sufi, fase asketisme setidaknya berlangsung sampai akhir aban II Hijriah dan memasuki fase kedua dimana peralihan dari asketisme ke arah sufisme yang ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Dalam fase ini ramai para ulama sufi bermunculan tak ubahnya jamur dimusim hujan seperti al-Muhashibi w. 243 H, al-Harraj dan al-Junaid al-Bagdadi w. 297 H tokoh terkemuka ini telah mengkonsep hidup etis tentang bagaimana cara hidup yang dilakukan oleh seorang ini agaknya memiliki faktor pemicu paling tidak ada tiga hal pertama karena gaya hidup yang glamor-profanistik dan corak kehidupan materialis-konsumerialis yang dipraktikan oleh kalangan eksekutif dan segera menyebar ke masyarakat luas. dan para kaum sufi melakukan protes dengan gaya murni etis, melalui pendalaman kehidupan rohani-sepiritual. Tokoh populer yang dapat mewakili kelompok ini dapat ditunujuk Hasan al-bashri w. 110 H yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan Islam, melalui doktrin al-zuhd, al-khauf, dan al-raja; selain itu juga Rabiah al Adawiyah w. 185 H dengan ajaran populernya al-mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki 9w. 200 H dengan konsepsi al-syauq sebagai ajaran Uzlah Surri as-Saqathi w. 253 H adalah nampaknya menjadi faktor kedua, dilihat dari kondisi sosio-politik pada masanya singgah mengasingkan diri dan menjauhi masyaraka yang sudah memilih hidup hedonis dengan gerakan politik yang mempropaganda pilihan untuk hidup sendiri dan mengindar agaknya cukup rasional untuk mencari jalan tampaknya dari faktor kodifikasi hukum Islam Fiqh dan Teologi yang dialektis rasional, sehingga kurang bermotivasi ethikal yang menyebabkan nilai sepiritualnya hilang, menjadi semajam wahana tiada isi, semacam bentuk tanpa adanya faktor-faktor sehingga menghilangkan atau kurang bermotif etika untuk mengembalikan nilai-nilai kerohaniyan, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam Malakut. Para kaum sufi ini berjuang. Pada abad ketiga ini juga Abu Yazid al-Bisthomi w. 260 H melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni beralih dan meleburnya sifat kemanusian nasut seseorang kedalam sifat ilahiyat terjadi penyatuaan manusia dengan Tuhan dalam yang sudah dipaparkan Di atas sejak Abad ke-II Hijriyah hingga III Hijriyah banyak sekali tokoh sufi yang muncul antara lain Al-Muhasibi H, Al-Harraj w. 277 H, Al-Junaid al-Bagdadi w. 297, Hasan Al-Bashri w. 110 H, Rabiah al-Adawiyah w. 185 H, Ma’ruf al-Kharki w. 200 H, Surri as-Saqathi w. 253 H, Abu Yazid al-Bistomi w. 260 Hdan begitu seterusnya hingga jaman Imam Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali 1058-1111 inilah tokoh yang menurut penulis representatif untuk dirujuk pemikiranya tentang etika. Ia adalah seorang filsuf, teologi, ahli hukum, dan sufi dikalangan barat ia dikenal dengan nama Alqazeel. Al-ghazali lahir dan meninggal di Thus, dan ajaran Etika dalam yang sudah disinggung di atas, bahwa sumber etika dalam sufi adalah Al-Quran. Setelah itu dalam pembahasan ini akan dipaparkan juga sumber-sumber seperti kehidupan Nabi, Akhlak, dan perkataan Sunnah. Setelah itu kehidupan sahabat dan perkataan sebagai sumber pembentuk etika sufiJika kita merujuk pada al-quran dan sunnah kata “etika” yang dalam hal ini diartikan dengan akhlak maka tidak ditemukan yang ditemukan dalam al-quran hanyalah bentuk tunggal yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surah Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. Sebagai rasul, “Sesungguhnya engkau Muhammad beradi diatas budi pekerti yang agung” QS Al-Qalam [68] 4Kata akhlak banyak ditemukan didalam hadis-hadis Nabi Saw., dan salah satu yang populer adalah “ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”Berpangkal dari Al-Quran dan sunnah. Namun pada kenyataannya perbuatan manusia manusia sangatlah beragam dan memang keberagan tersebut sudah ditentukan oleh Allah. firman Allah tersebut bisa dijadikan Argumen “Sesungguhnya usaha kamu hai manusia pasti amat beragam” QS Al-Lail [92] 4.Keberagaman prilaku manusia dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, prilaku baik dapat mengantar manusia pada Tuhannya sedangkan prilaku yang buruk mengantarkan manusia pada yang dianggap reprensentanif sebagai pemikir sufistik terkait prilaku manusia yang menjurus pada kesengsaraan menawarkan penawar yang dalam hal ini bisa kita sebut sebagai konsep prilaku etis yang berlandasankan pada Ayat Al-quran dan sunnah. Diantaranya Nafsu makan yang rakus Hadist “Tidak yang paling disukai Allah dibanding lapar dan dahaga” sabda beliau pula, “barang siapa memenuhi perutnya kekenyangan tidak akan masuk kerajaan langit” Sabdanya pula, “Lamar adalah raja segala amal”. adalah menjadi penyebab awal daari segala kerakusan, menjadi sumber syahwat, yang kemudian menimbulkan nafsu berbicara kotor Baca QS An-Nisa 114 ini menjadi konsep etis selanjutnya. Kebiasaan berbicara kotor harus segera dihentikan, karena sangat berpengaruh pada hati. Secara khusus, lisan merupakan proyektor hati. Setiap kata yang terlontar akan menjadikan goresan dalam hati dan akan merusak dalam benaknya. Rasullah saw, bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari akhirat, maka hendaknya berkata baik atau diam. “ Bukhari-Muslim sabdanya pula, “Barang siapa banyak bicara, maka banyak salahnya, dan barang siapa banyak banyak salahnya berarti banyak pula dosanya, dan barang siapa banyak dosanya, maka neraka lebih layak baginya.” Al-hadisAmarah adalah nyala api dari neraka Allah swt., yang menjelat hingga keruang hati. Orang yang tidak bisa menahan amaranya identik dengan orang yang telah menggeser prilakunya pada perangai setan yang memang diciptakan dari api. Oleh karena itu, kemampuan mengendalikan amarah dipandang penting oleh agama. Sabda Nabi “Bukanlah orang yang kuat itu karena kemampuan bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengendalikan nafsunya ketika marah”.Selanjutnya kedengkian, Rasul bersabda “Sesungguhnya dengki hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar” belau juga bersabda “Ada tiga perkara dimana tidak seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, jangan dinyatakan, dan bila timbul didalam hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul dalam hatimu rasa dengki, jangan dipertuturkan.”Bakil dan cinta harta, menjadi sorotan selanjutnya yang menjadikan seorang kebada berbuatan buruk. Bakil adalah penyakit hati yang sangat kronis dan riskan baca QS Al-Hasyr 9 yang artinya “Dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, nereka itulah orang-orang yang beruntung”. Baca Al-Imran 180, baca QS An-nisa 37. Lalu ambisi dan gila harta, Allah berfirman ”Negri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dimuka bumi” QS Al-Qashash83 dalam hal ini Rasul bersabda “Cinta harta dan tahta dapat menimbukan kemunafikan di dalam hati, sebagai mana air dapat menumbuhkan buah-buhan”.cinta duunia, adalah pangkal dari segala dosa. Dunia tidak sama dengan harta dan tahta saja. Harta dan tahtah hanyalah bagian kecil saja dari dunia yang amat luas ini. Namun perhiyasan dunia yang diciptakan Allah Firman-Nya “Sesuungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagi mu” QS. Al-Kahfi 7 dan segala kesenangannya telah terangkum dalam Baca QS Ali Imran 14 namun, agaknya telah jelas bahwa dunia ini tidak lain hanyalah permainan belak. Baca Al-Hadid 20 ...”Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”...QS. An-Nazi’at 40.takabur, “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang wenang.” QS Al-Mu’min 35. Selanjutnya sifat Takjub diri, merasa dirinya hebat karena banyak pengikut atau teman Baca At-Taubah 25. Menyangka diri yang perbutannya paling baik Allah mengabadikan kecamannya dalam Quran...”Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. QS Al-Kahfi 104. Merasa diri suci Allah mengingatkan dalam Quran “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” QS An-Najm 32.riya’, Firman Allah swt.”Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbat riya’...QS. Al-Maa’uun 4 Allah memberikan kisi-kisi kepada siapa yang akan diberi-Nya makan tanpa balasan bahkan ucapan trimakasih tidak butuh Baca QS. Al-Insan 9 dan dalam firman-Nya “barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. QS. Al-kahfi 110itulah macam-macam prilaku yang menyebakan manusia mengarah kepada kesengsaraan. Al-ghazali menghimbau. Ketahuilah, akhlak tercela itu amat banyak. Namun, prinsipnya kembali pada uraian Di atas. Tidak bisa sekedar membersikan sebagian, melainkan harus secara untuk mencapai kemuliaan Al-ghazali mengajarkan yang pertama dalah taubat. Taubat merupakan awal perjalanan para penempuh dan merupakan kunci kehagian para pengharap hadirat Allah. Allah swt. berfirman “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan dir.” QS. Al-baqarah 222Dan firman-Nya pula “Dan bertaubatlah kamu sekalin kepada Allah...”QS. An-Nur 31.Selanjutnya, Khauf Takut, Allah stw. Benar-benar memberikan anugrah kepada oang-orang yang takut kepada-Nya, berupa hidayah, rahmat ilmu dan ridha. Allah swt berfirman“... Petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya” QS. Fathir 28.Allah itu ridha kepada orang-orang takut kepada-Nya, begitu pun orang-orang yang takut pada-Nya itu ridha pada Allah. Baca QS. Al-Bayyinah 8.Zuhud, menjadi pilar utama kaum sufi untuk mencapai kehadirat-Nya. Hal ini pun para sufi berpijak pada Al-Quran. Allah swt. berfirman, “Dan janganlah kamu tunjukan matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” QS. Thaha 131Sepertinya dalam pemikiran etika sufi itu paham betul dengan apa yang harus diharapkannya didunia ini yaitu keuntungan yang akan didapatkan di akhirat kelak bukan didunia ini. Bukan karena tidak diberi jika kita mengharapkan keuntungan didunia ini. Namun Allah tidak akan memberikan apa pun kelak diakhirat. Namun, jika mengharapkan keuntungannya kelak di akhirat maka Allah akan memberikan lebih banyak. Baca QS. Asy-Syuura 20Selanjutanya sabar, Allah swt., berfirman, “Dan bersabarlah Allah beserta orang-orang yang sabar” QS. Al-Anfal 46. Ada beberapa hal yang diberikan kepada orang-orang yang sabar dan tidak diberikan kepada selainnya Mendapat keberkatan sempurna dan rahmat Tuhannya, Baca QS. Al-Baqarah 157, mendapat pahala yang jauh lebih baik dari apada atas apa yang mereka kerjakan Baca QS. An-Nahl 96, tidak berrhenti disitu Allah akan menjadikannya pemimpin Baca QS. As-Sajdah 24 Firman Allah swt. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” QS. Az-Zumar 10.Syukur, Allah swt., berfirman “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang berterimaksih.” QS. Saba 13.Sindiran ayat di atas menjadi motivasi kepada kaum sufi dan menyakini firman Allah swt. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akan menambah nikmat kepadamu” QS. Ibrahim 7.Ihklas dan jujur, Ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan ikhlas adalah niat, sebab dalam niat itu terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampurinya. Kesempurnaan ikhlas adalah Al-Ghazali memberikan Pilar-pilar Ikhlas Pilar Pertama Niat,Allah swt., berfirman dalam QS. Al-An’am 52. “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.”Arti niat menurut kaum sufi adalah kehendak dan keinginan memperoleh ridha Allah Kedua Keihhlasan swt. telah berfirman “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam Menjalankan agama denga lurus. “ QS. Az-Zumar 3Tawakal, Firman Allah wst. “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri” QS. Ibrahim 12 banyak bertebaaran ayat-ayat tentang taqwa dalam al-quran yang menjadi landasan kaum sufi dalam menyerahkan diri kepada esensial Hakikat taqwa merupakan kondisi rohani yang lahir dari tauhid, dan pengaruh terwujudnya dalam alam nyata. Tawakal memiliki tiga pilar Pertama, pengenalan diri akan Allah Ma’rifat, kondisi takwa haal dan Allah berfirman, “ Allah mencintainya dan mereka puun mencintainya” Al-Maidah 54. Bagi para kaum sufi puncak dari pada cinta adalah memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti diakhirat. Menurut Al-Ghazali hal ini tidak mungkin terjadi di Dunia karena tidak mungkin tersingkap sekarang. ...”Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku.” QS. Al-A raaf 143 dan firman-Nya ..”Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata”. QS. Al-An’am 103.Ridha terhadap kadha’, Firman Allah Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya” QS. Al-Maidah 119 dalam kaitan ini banyak pula hadist Rasullah seperti sabdanya, “Apabila Allah mencintai seorang Hamba, Dia mencobanya. Jika hamba itu sabar, Allah memilihnya. Dan bila ridha Dia mengutusnya”.Mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani, Al-Ghazali telah menyebutkan kesembilan maqam ruhani dan itu bukanlah terdiri sendiri-sendiri. Justru sebagian diantaranya menunjukan esensi maqam yang lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta Mahabbah dan prinsip atau maqam ridha Rela terhadap ketetapan Allah; keduanya merupakan maqam tertinggi. Di antara maqam tersebut saling berkaitan dengan maqam lainnya, seperti maqam taubat dan zuhud; maqam takut khuuf dan hal menyangkut kematian Al-ghazali banyak mengihmpun hadis-hadis Nabi, “Perbanyak mengingat pengancur kelezatan-kelezatan!”dan juga sabdanya, ”Barang siapa tidak menyukai pertemuan dengan Allah, Allah pun tidak suka bertemu dengannya.” Dan masih banyak lagi hadis serupa yang Imam Al-Ghazali ingat mati menurut al-ghazali adalah akan membawa manusia benci kepada dunia, sedangkan benci pada dunia adalah pangkal dari kebaikan. Bagi kaum sufi 9Ahli Ma’rifat mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan kegunaan; pertama, benci pada dunia dan kedua, rindu ditutup dengan Introspeksi diri. Gagasan etis al-ghazli ini terdapat dalam kita “Kitab Arba’in fi Ushuliddin” Bairut Daar Kutub Al-Imiyah, cet I, 1409/1988.Kehidupan Sahabat dan Perkataan merekaSumber lain yang dijadikan dalam pemikiran sufi untuk mendapatkan nilai-nilai seperti zuhud dan wara’ Menjaukan diri dari dosa, kesederhanaan dan memusatkan diri kepada Allah. seorang pengkaji sejarah sufi Islam modert, tak mungkin melepaskan mainstream-mainstream spiritual dan intuisi hati yang ada dalam kehidupan para sahabat dan perkataan-perkataan dalam makalah ini tidak akan mungkin untuk menjelaskan atau menderitakan secara keseluruhan kehidupan dan perkataan para sahabat Nabi. Penulis hanya akan menjelasakan secara global sebagai mana perkataan Abu Attabah al-Halwani “apakal kalian tidak ingin aku ceritakan kondisi Hal para sahabat Nabi SAW? “Pertama, bahwa bertenu dengan Allah merupakan sesuatu yang paling mereka cintai dalam kehidupan. Kedua, mereka tak pernah meresa takut terhadap musuh, baik banyak maupun sedikit. Ketiga mereka tidak pernah takut karena permasalahan dunia, dan mereka sangat percaya dengan rizki yang diberikan oleh Allah”Abu bakar Shidik merupakan seorang ahli zuhud hingga berlapar diri selama 6 hari, dan hanya mempunyai sepotong pakaian. Ia berkata “Jika seorang hamba merasa kagum atas perhiyasan-perhiayasan dunia, maka Allah akan membencinya hingga ia melepaskan diri dari perhiasan tersebut” Ia juga berkata tentang takwa yakni karena dirinya tawadhu “Aku menemukan kemulian pada diri ketakwaan, kekayaan pada diri keyakinan, dan keanggungan dalam ketawadhu’an” dan Ia bicara tentang ma’rifah Pengetahuan “Barang siapa yang mencintai sebuah pengetahuan murni, maka akan memalingkan dari selain Allah, serta menjauhkannya dari manusia”. dan junaid salah satu ulama besar sufi menceritakan tentang Abu bakar berkata Kalimat yang paling utama tentang tauhid adalah perkataan Abu bakar yang mengatakan “Maha suci zat yang tidak menciptakan jalan bagi mahluk, kecuali makluk tersebut tak akan mampu untuk mengetahui-Nya”PenutupDemikianlah sumber-sumber ajaran etis dalam pemikiran sufi. Dimana semua perbuatan hendaknya bertujuan untuk mendapatkan keutamaan dari Allah swt. Al-Ghazali menjelasakan dalam tingkatannya bahwa syariat hingga menuju hakikat dan pengetahuan puncak tentang tuhan atau ma’rifat adalah melalui perbuatan – perbuatan yang berdasarkan Al-quran yang telah di jelaskan diatas. K. Bertens “Etika” Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 1993 h. Arif Surahman “Kamus Istilah Filsafat” Yogyakarta. Matahari. 2012 Cet. 1 h. 96 M. Abdul Muiieb dkk. “Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali” Jakarta. PT Mizan Bublika. 2009 Imam Al-Ghazali “Teosofia Al-Quran” Pen.Surabaya Risalah Gusti, 1995 judul asli buku ini “Kitabul Alba’in fi Ushuliddin” Bairut Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1409/1988 cet 1. Abu wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani “Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya” Jakarta Gaya Media Pratama. 2008 h 54 ibid Tasawuf ialah mistisisme dalam Islam atau sufisme. Istilah ini berasal dari kata Arab Shuf Wol, sejenis pakainan tenunan kasar yang menjadi ciri utama kalangan pertapa awal yang cederung kepada kesederhanan simbolik dari pada kemewahan materi. Lihat Filsafat Selengkapnya
syehabdul Qodir Al-Jailani, beliau seorang sufi yang sangat alim dan jahid. Hakikat dari ajaran tariqoh Qodiriyah adalah taqorrub kepada Allah SWT, karena di dalam ajarannya terdapat ritual dan amaliah kontemplasi berupa zikir yang wajib dikerjakan oleh setiap murid. Murid atau santri yang sudah baiat atau mengikuti ajaran tariqoh
Syukur merupakan kata yang lazim diucapkan dalam keseharian masyarakat. Syukur menjadi pembahasan dalam bab tersendiri dalam kajian tasawuf. Syukur dibahas dengan beragam pandangan orang-orang sufi dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah. Pembahasan syukur dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah diawali dengan kutipan Surat Ibrahim ayat 7 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ Artinya, “Sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,” Surat Ibrahim ayat 7. Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yang menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat Aisyah ra. “Kabarkan kepada kami apa yang paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha. Siti Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit keduanya saling bersentuhan. “Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya. “Aku senang dekat dengamu Rasulullah,” jawab Aisyah ra. Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam. Rasulullah saw mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga menangis. Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam sampai Bilal ra datang untuk mengabarkannya azan subuh. “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra. “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak melakukannya?” jawab Rasulullah. * Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menyebut pengertian syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini adalah hakikat syukur yang disebutkan oleh al-Qusyairi. حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع Artinya, “Hakikat syukur menurut ahli hakikat adalah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan,” Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam 2010 M/1431 H], halaman 97. Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba kepada Allah adalah pujian kepada Allah dengan menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dengan menyebut kebaikan hamba-Nya. Adapun kebaikan seorang hamba adalah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan kebaikan Allah adalah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan hidayah agar ia mau bersyukur. Syukur atas nikmat Allah diucapkan dengan mulut dan disadari dengan hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dengan tiga ekspresi, pengakuan dengan lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota badan atas ibadah yang diperintahkan, dan syukur hati dengan musyahadah. Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H 97-98. Abu Ustman mengatakan, syukur adalah menyadari keterbatasan kita untuk bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur karena bisa bersyukur merupakan nikmat yang lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat karena kita meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur. Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya pamannya di hadapan para jamaah "Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-Nya." Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dengan nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash terkait pengertian dan pemahaman yang masuk ke dalam batin mereka. Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat batin tersendiri dari sisi-Mu.” Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari. Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang berharganya. “Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata At-Tustari. Wallahu a’lam. Ustadz Alhafiz Kurniawan
Sabardalam pandangan sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman. Adalah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah Swt. yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, memperoleh kedudukan mulia disisi-Nya, karena tanpa kesabaran, keberhasilan
Kata “takwa” mudah diucapkan tetapi sulit dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga setiap Jum’at, khatib selalu berwasiat takwa kepada jama’ah. Banyak orang yang merasa dirinya menjadi orang yang bertakwa padahal prilakunya menunjukkan orang yang tak mempunyai wibawa dihadapan Allah karena seringkali menyakiti orang lain baik dengan lisan maupun prilakunya. Sebetulnya hakikat takwa itu apa sih? Definisi takwa yaitu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya. Semua ibadah ujungnya bermuara untuk meningkatkan ketakwaan, maka dari itu puasa maupun amalan lain bertujuan agar manusia menjadi orang yang bertakwa. Imam As-Subuki dalam Fatawanya menjelaskan tentang empat tingkatan takwa dan bila seseorang sudah mencapai tingkatan ini maka keimanannya akan menjadi sempurna terutama saat ia mengetahui hakikat dan tingkatan takwa. Pertama, takwa dari segala hal yang menjurus kepada segala kemusyrikan karena pada prinsipnya Allah akan menerima ibadah orang yang bertakwa maksudnya menjauhi kemusyrikan baik syirik besar ataupun kecil seperti beribadah untuk mendapatkan pujian atau jabatan sesaat. Kedua, takwa dari dosa-dosa besar misalnya menyembah kepada selain Allah atau menyamakan Allah dengan ciptaannya. Ketiga, takwa dari segala dosa-dosa kecil misalnya berbuat kemaksiatan dengan anggota badan misalnya menjelekkan-jelekan orang lain. Keempat, takwa dari hal yang shubhat belum jelas status hukumnya misalnya mengambil makanan yang terjatuh di jalan yang belum jelas pemiliknya. Dari penjelasan ini seseorang yang ingin mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah harus melalui keempat tingkatan ini terutama dari hal yang paling mudah dan ia mampu mengerjakannya. Pada prinsipnya Allah tak akan memberikan beban kepada hambanya kecuali sekedar kemampuan dirinya sendiri. Pengertian Baju Takwa yang Jarang Dipahami Salah satu bentuk tradisi Arab Jahiliyah adalah mereka tawaf mengelilingi Ka’bah dalam keadaan telanjang, laki-laki tawafnya di siang hari dan perempuan dimalam hari. Hal ini dilakukuan karena mereka menganggap bahwa dirinya tak mau memakai baju yang sering dipergunakan untuk maksiat, Kemudian turun Surat Al-A’raf 26 yang berbunyi يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ 26 Artinya Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Syeh Nawawi al-Bantani dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa Ayat ini turun sebagai pengingat akan nikmat Allah agar dipergunakan untuk kebaikan bukan untuk mengikuti langkah atau perintah syaitan. Sedangkan menurut Imam Mawardi dalam Adab Ad-Dunya wa ad-Din menjelaskan bahwa Libas at-Taqwa ada enam pengertian, yaitu Baca juga Solusi Islam dalam Menghadapi Problematika Kehidupan Pertama, Libas at-Taqwa berarti iman. Ini menurut Imam Qatadah dan Imam Suday. Kedua, berarti amal shaleh. Ini menurut pendapat Sahabat Ibnu Abbas. Ketiga, Sikap yang baik. ini menurut Sahabat Usman bin Affan. Keempat, berarti takut kepada Allah. Ini pendapat Urwah bin Zubair. Kelima, berarti sifat malu menurut Ma’bad al-Juhani. Keenam, menutup aurat menurut Abdurrahman bin Zaid. Pada hakikatnya tujuan berpakaian ada tiga. Pertama, untuk menghindarkan dari hal yang menyakitkan. Kedua, untuk menutup aurat. Ketiga, untuk keindahan. baca juga 3 Karakter Sufi, Imam Junaid dan Ajaran Tasawufnya Dari sini jelas bahwa tujuan berpakaian tidak hanya menutup aurat saja namun penting kiranya menjaga hati dan nafsu agar tak mengikuti bisikan syaitan yang akan merugikan dirinya sendiri. Dalam Tabaqat al-Aulia karya Ibnu al-Mulaqqin mengutip perkataan Syeh Mansur bin Ammar ﻭﻗﺎﻝ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺳﻼﻣﺔ اﻟﻨﻔﺲ ﻓﻲ ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻬﺎ ﻭﺑﻼﺅﻫﺎ ﻓﻲ ﻣﺘﺎﺑﻌﺘﻬﺎ Imam Mansur bin Ammar Seseorang akan menjadi selamat bila tak mengikuti nafsu, sebaliknya ia akan celaka bila mengikutinya. Maka dari itu, baju ketakwaan seseorang akan menjadi lengkap bila didasari ilmu dan amal perbuatan yang baik. mohdamran2menerbitkan Hakikat ilmu pada 2021-08-20. Baca versi flipbook dari Hakikat ilmu. Muat turun halaman 1-50 di AnyFlip. sebenar-benar taqwa kepadaNya. Cahaya yang dicampakkan ke dalam hati-hati tazkiyyah adalah para.murobbi sufi yang muktabar sepanjang:zama1^ Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Setiap kali mendengar khutbah jumat, khotib selalu mengajak dan menyeru marilah kita bertaqwa kepada Allah, marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah. Apakah seruan ini sudah benar-benar kita laksanakan, kita wujudkan, kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari ? Sudahkah kita mencapai derajat taqwa ? Untuk lebih memantapkan lagi taqwa kita kepada Allah, khotib akan menyampaikan pembahasan tentang makna taqwa, ciri-ciri orang taqwa dan keutamaan-keutamaan taqwa. Pada khutbah beberapa Jumat yang lalu khotib telah menyampaikan makna taqwa menurut Imam Qusyairi, yaitu bahwa seseorang dapat disebut telah memperoleh derajat taqwa apabila memiliki 4 empat sifat, antara lain tawadlu, qona’ah, wara dan yakin. Pada kesempatan Khutbah sekarang ini Kotib akan menyampaiakan makna Taqwa menurut Imam Ghazali, seorang ulama, wali Allah, ahli tasawuf terkenal dari Persia, 450 H / 1058 M. Semoga Allah merahmati dan memuliakannya. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Imam Ghazali berkata kata Taqwa didalam al-Quran memiliki 3 makna, yaitu mempunyai arti rasa takut dan ngeri haibah, mempunyai arti ketaantan dan ibadah, dan mempunyai arti membersihkan hati dari dosa-dosa. Dari pengertian taqwa menurut Imam Ghazali itu mengandung makna, antara lain Pertama Taqwa itu mempunyai arti rasa takut dan ngeri haibah Takut terhadap siksa Allah, azab Allah, murka Allah, yang begitu dasyat, begitu hebat, disebabkan karena kita ingkar, kufur, melanggar aturan Allah. Allah telah gambarkan bagaimana umat-umat terdahulu yang ingkar, kufur kepada-Nya, kemudian Allah binasakan, Allah hancurkan mereka; bagaimana kaum Add Nabi Hud As. diazab dengan angin topan yang sangat dingin lagi amat kencang, 7 hari 7 malam.QS. Al Qomar 19 dan 29 , kaum Sadum Nabi Luth diazab dengan hujan batu QS. Al Qomar 34 , kaum Tsamud Nabi Shaleh diazab dengan suara guntur yang keras menggelegar QS. Al Qomar 31 , kaum Musa diazab dengan bumi tebalik, wajah mereka menjadi monyet Raaf 103 , kaum Saba Nabi Nuh diazab dengan banjir yang dasyat QS. Al Qomar 12 , Raja Fir’aun dan pengikutnya ditenggelamkan dilautan. QS. Al Araaf 130-134 dan Qorun dibenamkan diperut bumi QS. Al Qashash 81 Taqwa juga mengandung arti takut kepada Allah’, Takut terperosok kedalam perbuatan keji dan munkar sehingga kita berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan menjaga hati, menjaga diri, menjaga sikap, menjaga perilaku kita dari perbuatan hina, nista dan tercela. Takut berbuat dosa; takut meninggalkan sholat, takut kalau berbuat jahat, takut melakukan maksiat, takut melupakan akhirat, takut melupakan taubat, takut banyak membuka aurat, takut suka mengumbar syahwat, Inilah takut-takut yang akan menyelamatkan kita, yang akan menjaga harkat, derajat dan martabat kita, yang akan menjaga kemuliaan dan kehormatan kita. Oleh karena itu mari kita tanamkan, benamkan, hujamkan perasaan takut khauf kepada Allah dalam diri kita. Dengan perasaan takut kepada Allah diharapkan akan melahirkan sikap hati-hati, dan memperbanyak ibadah. Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al Baqarah ayat 281 وَٱتَّقُواْ يَوۡمً۬ا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ‌ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا ڪَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya dirugikan. Kedua Taqwa itu mempunyai arti ketaatan dan ibadah Taqwa itu berarti taat, patuh, tunduk, pasrah kepada Allah, yaitu melaksanakan aturan-aturan Allah dan menjauhi larangannya imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi dengan penuh kesadaran, keikhlsan, ketundukan, kepasrahan hanya kepada Allah. Taqwa itu ibadah, mengabdi, berbakti, berserah diri, menghambakan diri, mengabdikan diri kepada Illahi Rabbi, Allah SWT, dengan ruku, sujud, tahajud dan dengan beramal soleh. Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al Imran ayat 102 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Karena taqwa bermakna taat dan beribadah, maka bagi hamba yang taat dan beribadah Allah akan penuhi hati dan tangannya dengan kekayaan,sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “ Tuhan kalian berkata, Wahai anak Adam, beribadahlah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tangannya dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku, sehingga aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan “ HR. Al Hakim . Dalam Hadits lain Nabi SAW bersabda “ Tiada seorang hamba yang taat kepadaKu melainkan Aku memberinya sebelum dia minta, dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya sebelum dia mohon pengampunan istighfar’ “ HR. Ad Dailami . Itulah balasan bagi orang yang bertaqwa, taat dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Ketiga Taqwa itu mempunyai arti membersihkan hati dari dosa-dosa Allah SWT berfirman dalam Quran Surat An Nuur 52 وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡفَآٮِٕزُونَ dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan Takut kepada Allah disebabkan dosa, kesalahan yang telah dilakukan, aib dan noda yang dimilikinya. Kemudian menyesalinya dengan sunguh-sungguh, berjanji tidak mengulanginya. Orang taqwa adalah orang yang memelihara diri, menjaga kesucian diri, menjaga kesucian hati dari segala macam dosa, kesalahan dan dari sifat-sifat tercela; ujub, riyaa, takabbur, rakus, iri, dengki, dendam, kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, seperti syukur, ridho, sabar, qonaah, zuhud, tawakkal dan ikhlas. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Mudah-mudahan kita semua yang hadir di mesjid ini termasuk orang-orang yang bertaqwa, taqwa yang sebenar-benarnya, taqwa yang tidak hanya di bibir saja, atau hanya kata-kata belaka yang tak bermakna, tapi taqwa yang menyatukan satunya lisan dengan perbuatan, satunya ucapan dengan tindakan, satunya kata dengan praktika, satunya dakwah dengan lampah, satunya ucap dengan sikap dan satunya teori dengan manifestasi. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ Sumber dari berbagai sumber internet .
  • s9a7rf13d9.pages.dev/219
  • s9a7rf13d9.pages.dev/468
  • s9a7rf13d9.pages.dev/161
  • s9a7rf13d9.pages.dev/65
  • s9a7rf13d9.pages.dev/447
  • s9a7rf13d9.pages.dev/412
  • s9a7rf13d9.pages.dev/227
  • s9a7rf13d9.pages.dev/439
  • hakikat taqwa menurut sufi